Penulis : Melsya Firtikasari, S.Pd., M.Sn.
A. Latar Belakang
Jawa Barat adalah salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan kesenian tradisional, kurang lebih terdapat 65 macam kesenian tradisional yang masih hidup dan berkembang di Jawa Barat. Dari sekian banyak kesenian tradisional yang ada di Jawa Barat tersebut, pada umumnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan lingkungan sosial budaya masyarakat sekitarnya, salah satu contohnya seperti kesenian tradisional Hadro.
Hadro adalah salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut. Masyarakat Desa Bojong boleh berbangga hati karena meskipun keseniaannya berada pada kondisi yang kurang menguntungkan, tapi kesenian Hadro di Desa Bojong tetap tegar, perkasa dan memperlihatkan kemandirian. Kesenian Hadro sudah hidup sejak puluhan tahun lalu sebagai warisan dari para leluhur yang sekarang masih tetap terjaga.
Lahir dan berkembangnya kesenian Hadro tidak lepas dari tumbuh dan berkembangnya syiar agama Islam. Orang yang pertama kali memperkenalkan kesenian Hadro ini adalah seorang Kyai Haji Ahmad Sayuti, Pak Sura dan Pak Sastra yang berasal dari Kampung Tanjung Singuru Kecamatan Samarang Kabupaten Garut pada tahun 1917. Pada awalnya kesenian Hadro hanya sebatas lingkungan pesantren saja. Bagi para santri hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang harus dilakukan setelah mereka mendapatkan ilmu tentang agama Islam. Kegiatan tersebut bertujuan untuk lebih percaya serta mensyukuri atas nikmat yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta-Nya. (Hasanudin, wawancara Januari 2010).
Mereka pun belajar ayat-ayat Al-Qur’an dari kitab Al-Barjanji, yang dipakai dalam kesenian Hadro untuk melantunkan pujian-pujian yang isinya mengagungkan Allah SWT dengan segala ciptaan-Nya. Dengan keuletan KH. Ahmad Sayuti dan Pak Sura dalam menarik perhatian masyarakat agar berminat dan berkeinginan untuk mempelajari Bahasa Arab sebagai permulaan memeluk agama Islam, maka dilakukannya dengan media kesenian yaitu kesenian Hadro yang di dalamnya membahas komunikasi dengan menggunakan kata-kata Bahasa Arab (Hasanudin, wawancara Januari 2010).
Apabila melihat pendapat di atas, sebagai perwujudan gagasan KH. Ahmad Sayuti dan Pak Sura, maka kesenian Hadro lah yang dijadikan sebagai media syiar agama Islam untuk bisa diterima oleh masyarakatnya. Dengan demikian mereka akan bisa melihat, mendengar dan merasakan kesenian Hadro tersebut, sehingga mereka tertarik untuk mempelajari agama Islam. Secara tidak langsung juga dengan adanya kesenian Hadro untuk taat terhadap ajaran agama berdasarkan kaidah agama Islam.
Hadro adalah satu jenis kesenian tradisional yang dipadukan dengan seni bela diri sebagai kebanggaan masyarakat Desa Bojong. Kesenian tradisional Hadro senantiasa tampil dalam setiap kesempatan, baik pada upacara hari besar Nasional maupun acara-acara penting di tingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan tingkat provinsi. Di samping itu ditampilkan pula dalam acara perkawinan, khitanan, pesta adat menyambut datang panen dan dalam acara keagamaan seperti dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW yang disebut Muludan, Rajaban dan dalam acara keagamaan lainnya.
Kesenian tradisional Hadro pada acara Muludan sangat menarik apabila diamati dan ditelusuri secara lebih jelas. Karena kesenian Hadro menyajikan lirik-lirik indah bernafaskan pujian kepada Tuhan, dan sajak-sajak indah sebagai satu tanda rasa cinta kasih kepada Rasulullah SAW. Lagu-lagu pada kesenian Hadro memiliki urutan penyajian yang baku begitu pula dengan pola tabuhnya. Kesenian Hadro juga menampilkan gerak dan gaya yang harmonis dalam penyajiannya.
Kesenian tradisional Hadro mengandung berbagai kesan bagi masyarakat Desa Bojong. Jadi sayang sekali bila kesenian Hadro diabaikan tanpa ada kelanjutan dan perkembangan. Karena mungkin suatu saat akan terlupakan dari masyarakat setempat maupun dari pihak yang peduli terhadap kesenian tersebut. Oleh karena itu, penelitian Hadro layak dilakukan untuk melestarikan kebudayaan tersebut.
B. Tinjauan Teoritis tentang Kesenian Hadro
1. Kesenian Tradisional
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang terbentuk dari hasil kreativitas dan inovasi masyarakat dan lingkungannya. Kesenian tersebut kemudian diwujudkan ke dalam berbagai bentuk dan raga, baik tradisional maupun non tradisional atau kreasi baru.
Kesenian tradisional lahir dari budaya masyarakat terdahulu di suatu daerah tertentu yang terus berkembang secara turun temurun, dan terus dinikmati oleh generasi penerusnya. Seperti diungkapkan oleh Yoeti (1985:2) bahwa: “Seni budaya tradisional adalah seni budaya yang sejak lama turun temurun telah hidup dan berkembang pada suatu daerah tertentu.” Penjelasan tersebut menunjukan bahwa yang menjadi ciri kesenian tradisional adalah adanya sistem pewarisan yang dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Mengenai kesenian tradisional Kosim dalam Masunah (1985:131) mengungkapkan bahwa:
“Kesenian tradisional adalah satu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagian milik sendiri oleh masyarakat dan lingkungannya. Pengolahannya berdasarkan cita rasa masyarakat pendukungnya. Cita rasa disini mempunyai pengertian yang luas, termasuk nilai kehidupan tradisi pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan, hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua ke angkatan muda.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesenian tradisional merupakan salah satu seni budaya yang lahir dari kebudayaan masyarakat sebelumnya, yang berkembang terus-menerus sehingga kesenian tradisional tersebut kemudian diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya dan dengan adanya proses kreasi yang terus menerus agar kesenian ini dapat tetap lestari, tetapi tidak mengubah keaslian dari seni tradisional tersebut.
2. Kesenian Tradisional Hadro
Kesenian tradisional pada umumnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan lingkungan sosial budaya masyarakat sekitarnya. Berdasarkan pada uraian tersebut, di Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut terdapat satu jenis kesenian tradisional yang sampai sekarang masih tetap terjaga kelestariannya. Kesenian tradisional tersebut adalah kesenian tradisional Hadro.
Kesenian tradisional Hadro tersebut sudah hidup sejak puluhan tahun, sebagai warisan dari para leluhur. Sebagai data otentik tentang hal ini dapat dibuktikan melalui cerita dari para tokoh kesenian tersebut. Pada hakekatnya setiap peregenerasian atau pelestarian kesenian Hadro dilakukan secara turun temurun dengan budaya lisan, tanpa adanya pengembangan seni secara kualitas. (Hasanudin, wawancara Januari 2010)
Menurut pendapat umum Hadro adalah jenis kesenian tradisional. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Sunda ”Hadro nyaeta ngaran tatabeuhan nu diwangun ku terebang opat jeung kendang hiji” (LBSS, 1981:159). Terjemahannya Hadro adalah nama alat musik yang terdiri dari empat buah terebang dan satu buah kendang. Istilah Hadro berasal dari bahasa Arab yaitu ”Hadrah” yang artinya hadir. Maksudnya mendekatkan diri kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad saw dengan menggunakan media kesenian Hadro. (Hasanudin, wawancara Januari 2010)
Menurut Bapak Hasanudin (Ketua Grup Kesenian Hadro Panca Mustika Desa Bojong) Hadro artinya hadir. Hadir di sini maksudnya dalam diri seseorang harus hadir rasa cinta dan keyakinan terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul-Nya. Oleh sebab itu, dengan sering hadirnya lagu-lagu yang berisikan ajaran agama Islam dan keteladanan Nabi Muhamad saw dalam pertunjukan kesenian Hadro, diharapkan lambat laun apresiator memahami dan mengerti tentang ajaran agama Islam. (Bapak Hasanudin, wawancara Januari 2010)
Pengertian Hadro dalam penelitian ini lebih terarah pada pengertian yang pertama, yaitu nama salah satu jenis kesenian tradisional. Jadi yang dimaksud dengan kesenian Hadro dalam penelitian ini adalah jenis kesenian tradisional yang terbentuk atas empat buah terebang, satu buah bajidor, dan satu buah terompet yang dalam penyajiannya waditera tersebut digunakan untuk mengiringi tarian dan lagu-lagu berbahasa Arab yang diambil dari Kitab Al-Barjanji.
3. Kesenian Hadro Pada Masyarakat Desa Bojong
Setiap kesenian yang berada di tengah masyarakat, baik tradisional maupun non tradisional memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kehadiran kesenian di tengah-tengah para pendukungnya memiliki arti penting bagi kehidupannya sehari-hari. Tidak mungkin suatu bentuk kesenian itu ada di tengah-tengah masyarakat tanpa memiliki peranan yang penting bagi masyarakatnya.
Berkenaan dengan peranan kesenian tersebut di atas, peneliti akan mencoba memaparkan tentang peranan dari kesenian Hadro bagi masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut. Pada saat sekarang kesenian Hadro memiliki dua peranan bagi masyarakatnya yaitu sebagai sarana upacara keagamaan dan sebagai sarana hiburan.
a. Kesenian Hadro sebagai Sarana Upacara Keagamaan
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Hadro adalah bentuk kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di tatar Jawa Barat dimana penyajiannya didukung dengan empat buah instrumen terebang, satu buah bajidor dan satu buah tarompet sebagai pelengkap serta menggunakan syair-syair berbahasa Arab yang diambil dari Kitab Al-Barjanji.
Dari berbagai syair yang diucapkan oleh para penyanyi dan disajikan dalam bahasa Arab, maka kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa kesenian Hadro merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang bernafaskan Islam.
Pada umumnya, kehadiran kesenian tradisional yang bernafaskan Islam memiliki peranan sebagai media upacara bagi masyarakat pendukungnya. Berkaitan dengan kegiatan upacara keagamaan yang menggunakan media kesenian tradisional Islami tersebut DH. Nurendah Hamiddi Madja (1996:52) menyatakan bahwa: ”Salah satu fungsi kesenian, yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, ialah meningkatkan dan mengembangkan nilai spiritual, etis, dan estetika pada diri manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang tertinggi derajatnya”.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Nurendah Hamiddi Madja di atas, peneliti berpendapat bahwa: meningkatkan dan mengembangkan nilai spiritual yang dimaksudkan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mempertebal keyakinan atau keimanan seseorang terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul-Nya. Tentu saja upaya yang dilakukan itu dengan menggunakan media kesenian.
Berbicara tentang fungsi kesenian tradisional sebagai media upacara. Kesenian Hadro acapkali disajikan atau dipergelarkan pada acara 40 hari kelahiran bayi (mahinum) yang dimaksudkan sebagai kegiatan syukuran atau nikmat yang diberikan oleh Allah SWT karena dikaruniai seorang anak. Kegiatan lainnya seperti upacara peringatan Maulid Nabi.
Dari kegiatan upacara yang dilakukan oleh para pendukung kesenian tradisional Hadro diharapkan para pendukungnya dapat menyimak dengan baik makna-makna syair yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat mempertebal keimanan para pendukungnya dan pemainnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Kesenian Hadro sebagai Sarana Hiburan
Selain berperan sebagai sarana upacara seperti yang telah dipaparkan di atas, banyak pula kesenian yang memiliki peranan yang lain yaitu sebagai media hiburan. Dalam hal ini DH. Nurendah Hammidi Madja (1996:55) mengatakan bahwa: “Tidak sedikit seni bernafaskan Islami yang condong serta didominasi oleh sifat hiburan tinimbang sebagai media komunikasi dalam rangka pengemban amanat meneruskan dakwah Islamiyah”.
Seperti yang diungkapkan oleh Nurendah Hammidi Madja pada penjelasannya di atas, memang tidak sedikit seni-seni yang bersifat Islami condong pada sifat hiburan. Namun demikian menurut penulis kalaupun lebih condong pada unsur hiburannya, sifat-sifat dakwahnya pun masih tetap tampak pada pada untaian kata-kata yang dijadikan syairnya.
Berbicara tentang kesenian Islam yang bersifat hiburan, maka Hadro sebagai salah satu kesenian tradisional Jawa Barat yang bernuansa Islami, juga memiliki peranan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Hal ini dapat kita lihat pada pergelaran-pergelarannya yang bisa dipertunjukkan pada acara-acara pernikahan, khitanan, dan acara syukuran lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya.
4. Perkembangan Kesenian Hadro di Desa Bojong
Berbicara mengenai perkembangan kesenian tradisional, Soepandi membaginya ke dalam dua, yakni sebagai berikut:
“Perkembangan yang bersifat vertikal dan horizontal. Perkembangan yang bersifat horizontal, artinya perkembangan yang sifatnya memperluas daerah penyebaran, memperbesar frekuensi pementasan, dan memperbanyak reportoar lagu. Sedangkan yang dimaksud dengan perkembangan yang bersifat vertikal artinya perkembangan yang sifatnya meningkatkan mutu kesenian tersebut”.
Dari pernyataan di atas, seperti yang dialami oleh kesenian tradisional lainnya. Kesenian Hadro pun mengalami perkembangan. Kesenian Hadro mengalami perkembangan yang bersifat horizontal karena dalam kesenian Hadro tersebut terdapat perkembangan fungsi dan peranan, juga memperbanyak pembendaharaan materi sajian (teknik pertunjukan) tanpa merubah nilai yang ada di dalamnya.
Pada mulanya kesenian Hadro hanya disajikan atau dipergelarkan pada acara Maulid Nabi Muhammad saw dan pada acara 40 hari kelahiran bayi (mahinum). Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian Hadro dipergunakan pula pada kegiatan sosial lainnya seperti telah dikemukakan di atas yaitu diantaranya dalam acara khitanan, pernikahan, dan acara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan fungsi dalam kesenian Hadro terjadi pada perkembangan fungsi sosialnya.
Seiring dengan kemajuan di berbagai bidang baik teknologi, komunikasi maupun yang lainnya tentu sangat berpengaruh pada seni kehidupan manusia, yang berarti berpengaruh pula terhadap perkembangan seni budaya kita. Dalam hal ini seorang pakar seni pertunjukan mengatakan bahwa:
“Ketika modernisasi atau westernisasi berlanjut, ritual pun mengalami transpormasi bentuk dan fungsi: pilihan seperti obat-obatan atau peralatan modern diperkenalkan menggantikan ritual, atau bahkan mungkin menghilangkannya. Orang luar yang tidak memiliki latar belakang budaya yang sama dapat mulai mengembangkan ritual sebagai tontonan atau petunjuk sambil mengesampingkan fungsi orisinalnya.” (Shimeda Takashi, 1997: 115)
Apabila kita simak ungkapan tersebut di atas, kemudian kita kaitkan dengan keadaan masyarakat sekarang, khususnya masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut, kita dapat melihat betapa besar pengaruh modernisasi terhadap kehidupan masyarakat terutama pada sektor budaya yang ada. Hal ini dapat kita lihat pola kehidupan masyarakat sehari-hari dari mulai kebutuhan pakaian, perabot rumah tangga hingga unsur kepercayaan yang mereka anut, jelas mengalami perubahan bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Proses perkembangan kesenian Hadro di Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut sangat ditentukan oleh masyarakat sebagai penyangga kesenian tersebut. Hidup dan matinya kesenian Hadro tergantung dari masyarakatnya, dalam arti ada regenerasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho Susanto, bahwa “kebudayaan (kesenian) tidak pernah berakhir, kalau dianggap suatu bangunan di tengah-tengah alam yang harus didirikan oleh semua secara estafet”.
Begitu pula dengan keberadaan kesenian Hadro, setelah generasi terdahulu menghilang akan diteruskan oleh generasi selanjutnya. Antara generasi terdahulu dengan generasi sekarang tentunya mengalami perubahan, dan perkembangan yang harus disesuaikan dengan jamannya agar kesenian tersebut dapat bertahan kelestariannya.
Perubahan dan tata nilai dalam kehidupan masyarakat memiliki unsur potensi dan motivasi dalam menghasilkan perubahan yang dinamik. Secara garis besar perubahan itu menjadi bagian yang menyeluruh dalam kehidupan masyarkat seperti halnya masyarakat Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut yang semakin berubah baik tata nilai sosial dan yang lainnya. Sebagai perubahan yang wajar, karena semakin berkembang fungsinya semakin berkembang pula peradaban manusianya. Kenyataan ini terbukti pada peresmian Pameran Pembangunan dan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-48 di Bandung, kesenian Hadro diminta untuk pertunjukan lalu diundang untuk dipertunjukan di dalam pembukaan HUT Kota Garut, dan pada acara-acara besar Nasional serta peristiwa penting yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah Kabupaten Garut dan daerah sekitarnya. Sehingga proses perkembangannya terus berjalan sebagai proses untuk masa yang akan datang.
5. Proses Penyajian Kesenian Hadro pada Acara Mauludan
Pada umumnya setiap kesenian tradisional dalam penyajiannya mempunyai tata cara tersendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan serta adat istiadat daerah setempat. Begitu pula dalam kesenian Hadro yang ada di Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut, dalam penyajiannya mengalami tata cara tersendiri yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Persiapan sebelum pertunjukkan
Berdasarkan data yang dapat peneliti kumpulkan di lapangan, diperoleh keterangan bahwa penyajian kesenian Hadro pada awalnya hanya dilakukan di halaman atau di dalam rumah. Dengan kata lain belum menggunakan panggung. Namun dengan berkembangnya zaman dan pola pikir masyarakat melalui pengaruh yang datang dari luar, maka pertunjukan kesenian Hadro pun mengalami perubahan, yang semula hanya dilakukan di halaman atau di dalam rumah, kini pertunjukan kesenian Hadro bisa dipertunjukan di atas panggung. Bahkan sering pula dipertunjukan dalam bentuk helaran atau arak-arakan.
Waktu pertunjukan kesenian Hadro tidak terikat, artinya kesenian Hadro bisa dipertunjukan pada pagi hari, sore hari, bahkan bisa pula dipertunjukan pada malam hari. Begitu pula lamanya pertunjukan tidak memiliki ukuran waktu yang baku, dalam arti lama tidaknya pertunjukan kesenian Hadro tergantung dengan kebutuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Hasanudin, bahwa lama pertunjukan kesenian Hadro yang dipimpinnya ada satu jam, dua jam, tiga jam bahkan adapula yang meminta semalam suntuk. Ini menunjukan bahwa lamanya pertunjukan kesenian Hadro tergantung pada kebutuhan. Kesenian Hadro pada acara mauludun ini dipertunjukkan di sebuah ruangan GOR Desa Bojong pada waktu siang hari dengan lamanya pertunjukkan 1 jam.
Sebelum pertunjukan kesenian Hadro dimulai, biasanya terlebih dahulu mempersiapkan segala hal yang diperlukan. Persiapan tersebut meliputi alat atau waditra pengiring, koreografi, tata rias dan busana.
1. Koreografi
Koreografi dalam kesenian Hadro bersumber pada gerak-gerak pencak silat yang sudah distilir. Sehingga gerak-gerak yang diperagakan tersebut tidak sama persis dengan gerak pencak silat yang aslinya. 2. Tata rias dan Busana
Tata rias berfungsi untuk memperkuat ekspresi, perwatakan dan pembentukan wajah. Tetapi dalam hal ini tata rias yang digunakan dalam kesenian Hadro tidak terlalu menonjol. Bahkan bisa disebut sangat sederhana sekali. Karena tata rias yang digunakan adalah tata rias yang digunakan adalah tata rias dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun busana yang dipakai dalam kesenian Hadro, yaitu:
Iket
Kain yang berbentuk segitiga dengan cara pemakaiannya dililitkan terlebih dahulu lalu dipasangkan di kepala, ikatannya berbentuk silang atau disebut juga dengan sebutan iket parengkos nangka.
Baju Kampret
Baju berlengan panjang dengan warna putih dan memiliki kancing tengah.
Selendang
Kain yang panjangnya kurang lebih satu meter berwarna merah. Cara pemakaian selendang dililitkan didepan dada pada baju warna putih.
Celana Pangsi
Celana panjang yang menggunakan warna putih atau hitam.
3. Waditra Pengiring
Dalam suatu pertunjukan kesenian Hadro waditra pengiring menjadi unsur yang penting untuk menghidupkan suasana. Pengertian waditra adalah sebutan untuk alat musik tradisional. Adapun waditra-waditra yang digunakan dalam kesenian Hadro adalah:
a. Terebang
Menurut Kamus Bahasa Sunda, terebang nyaeta ngaran tatabeuhan make kulit saperti dog-dog ngan ceper, ilahar dipake mirig lalaguan make bahasa Arab atawa pasantren (LBSS, 1981:584), artinya terebang adalah nama alat musik yang memakai kulit seperti dog-dog hanya berbentuk pipih, biasanya dipakai untuk mengiringi lagu-lagu dalam bahasa Arab atau lagu-lagu pesantren.
Terebang yang digunakan dalam kesenian Hadro jumlahnya terdiri dari empat buah. Keempat buah terebang tersebut mempunyai nama masing-masing yaitu:
1. Terebang Talingtit
Waditra terkecil yang berperan sebagai pembawa pangkat pada suatu pergelaran.
2. Terebang Kempring
Waditra ini berperan untuk menentukan tempo, cepat atau lambatnya permainan.
3. Terebang Kompeang
Waditra ini berperan sebagai jenglong untuk mengiringi irama kempring.
4. Terebang Bangsing
Waditra ini berperan sebagai goong kecil atau kempul.
b. Bajidor
Bajidor berbentuk bulat seperti bedug dengan diameter 60 cm. Cara pemakaiannya dipukul dengan pemukul khusus yang terbuat dari kayu. Bajidor berfungsi sebagai alat komando untuk mengawali dan mengakhiri lagu pada kesenian Hadro.
c. Terompet
Tarompet berfungsi sebagai pembawa melodi, pemberi ornamen pada lagu dan dapat memperkuat suasana khas dalam pertunjukan kesenian Hadro. Laras yang digunakan pada waditra tarompet adalah laras salendro/nyalendro dan laras mataraman.
b. Jalannya Pertunjukkan
Setelah melaksanakan tahapan persiapan di atas, selanjutnya sebagai jalannya penyajian kesenian Hadro pada acara Mauludan yang dilaksanakan di dalam ruangan diawali dengan masuknya penari kemudian disusul oleh para penabuh sambil membawa alat musik masing-masing. Biasanya penari berjajar di depan, sedangkan para penabuh berada di belakang penari.
Lagu-lagu kesenian Hadro yang biasa disajikan pada acara mauludan ini terdapat delapan lagu. Lagu-lagu tersebut adalah lagu Bismillah, Assalamu, Sholawat, Nawaetu, Taqoballah, Alfasallu, Hayu Badan dan lagu Sholu Robbuna.
Penyajian lagu-lagu pada kesenian Hadro memiliki urutan yang baku seperti pada urutan lagu-lagu diatas. Hal tersebut disesuaikan dengan makna syair yang terkandung dalam lagu-lagu tersebut. Lagu-lagu itu dinyanyikan oleh para penabuh terebang, mereka menggunakan gaya bernyanyi seperti orang yang sedang pupujian di mesjid menjelang waktu sholat. Pelaku kesenian Hadro tersebut tidak memfokuskan pada teknik vocal, tetapi mereka lebih mengedepankan makna dari syair lagu yang dibawakan.
Dari delapan lagu-lagu tersebut diantaranya memiliki melodi yang sama yaitu lagu Assalamu dengan lagu Shalawat,dan lagu nawaetu. Tetapi syair lagu yang dibawakan berbeda dan disajikan secara berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan.
c. Akhir Pertunjukkan
Setelah selesai menyajikan lagu-lagu, pertunjukan kesenian Hadro biasanya diakhiri dengan pembacaan do’a yang dipimpin oleh pimpinan rombongan. Hal ini dilakukan sebagai ucapan syukur pada Allah SWT yang telah memberikan kelancaran dalam proses pertujukan.
C. Kesimpulan
Kesenian Hadro merupakan kesenian tradisional bernuansa Islam yang tumbuh dan berkembang di Desa Bojong Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut sejak tahun 1917 hingga saat ini. Lahir dan berkembangnya kesenian Hadro tidak lepas dari tumbuh dan berkembangnya syiar agama Islam.
Pada mulanya kesenian ini berdiri sebagai media untuk penyebaran agama Islam. Namun pada saat ini kesenian Hadro tidak saja sebagai kesenian untuk penyebaran agama Islam tetapi juga sebagai sarana hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Walaupun demikian, hal tersebut tidak merubah nilai-nilai estetika yang terdapat dalam kesenian Hadro. Karena dari dahulu hingga sampai sekarang, tidak terjadi perubahan terhadap melodi dan syair-syair lagu dalam kesenian Hadro.
Syair-syair lagu yang terdapat pada kesenian Hadro diambil dari sebuah kitab yang bernama kitab Al-Barjanji. Makna yang terkandung dari lagu-lagu kesenian Hadro mengandung pesan tentang ajaran agama Islam. Banyaknya lagu yang disajikan pada acara mauludan terdiri dari delapan lagu yaitu: lagu Bismillah, Assalamu, Sholawat, Nawaetu, Taqoballahu, Al-fasallu, Hayu Badan dan lagu Sollurobbuna. Lagu-lagu tersebut dibawakan oleh seorang penyanyi solo (ngahadi) dan kemudian diikuti secara rampak (saur).
Untuk mengiringi lagu-lagu yang disajikan pada kesenian Hadro digunakan empat buah waditra terebang, satu buah bajidor, dan satu buah tarompet. Dari sekian banyak waditra yang digunakan dalam penyajian kesenian Hadro dapat disimpulkan bahwa: pola tabuh yang digunakan pada kesenian Hadro terdiri dari empat pola tabuh yaitu: pola tabuh Banten, Cirebon, Bingbruk, dan Kincar.
Sumber :
Hidayana, Iip Sarip. 1997. Lagam Salawat Cirebon. Bandung: STSI Bandung.
Kurnia, G dan Nalan, A. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Disbudpar Jawa Barat dan Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD.
LBSS. 1981. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Teratai.
Madja, D.H. Nurendah Hamiddi. 1996. Seni Islami sebagai Media Komunikasi. Buletin Kebudayaan Jawa Barat.
Poerwadarminta, WJS. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukrisnawanti, Diah dan Samsuri Jari. 1993. Seni Sebagai Media Pendidikan Islam. Jakarta: Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-kanak Al-Qur’an Badan Komunikasi Pemuda Mesjid Indonesia.